Feeds:
Posts
Comments

Saat ini, memasuki milenium ke tiga, di saat negara-negara tetangga kita (Malaysia, Singapura, Pilipina, dan kemudian menyusul Cina serta India) sudah mulai mensejajarkan diri di panggung global; Indonesia justru terpuruk dan kehilangan kesejarahannya. Kita tetap meyakini sebagai bangsa yang luhur, halus, berbudi pekerti dan sopan santun; tapi kekerasan dan kebrutalan (teror, pembunuhan, penjarahan) adalah fakta yang menghancurkan harga diri bangsa di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia. Indonesia, kini lebih dikenal sebagai salah satu negara terbelakang yang kasar dan primitif.

Tingkat korupsi, moral para politisi, pejabat negara, aturan hukum, nyaris semuanya terpuruk. Ada lompatan besar kebudayaan yang salah, yang harus dibayar mahal, dan membutuhkan waktu satu generasi untuk memperbaikinya; yakni budaya tulis (dan baca). Kita telanjur melompat dari budaya lisan menuju audio-visual.

Continue Reading »

Orang Kampung

WAK MANGLI mulai berkeringat, –menggigil. Suara deru angin. Pohon-pohon berpatahan. Kelebat lentik pagar di depan ambruk; menembus mimpi teramat buruk. Dosa apakah? Tiba-tiba. Lentik lampu sentir menabur jelaga, menuju atap. Hitam. Ia terpaksa terbangun berkali-kali, menguping telinga. Jelas isyarat hujan. Betul. Tak ada jam. Juga suara kentong peronda yang mustinya sudah berbunyi sedari tadi. Badai dari langit itu. Lelap.

“Apakah kamu dengar juga, Juminah?” setengah mengigau, berteriak. Membangunkan istrinya, “Jangan tidur. Aku khawatir…”

“Kita bisa melihatnya besok,” pelan. Gerimit bibirnya mengguratkan garis letih. Menjawab. “Sudahlah,” ia menghibur. Tapi tak tenang. Wak Mangli hafal itu bukan isyarat baik, lalu:

“Hasnah! Bunga-bunga manggis itu pasti berjatuhan. Gagal. Ah, hujan sial. Lalu bagaimana dengan nasib Hasnah, Juminah?”

“Aku tak tahu.”

“Dengar: tahun ini tak akan ada buah. Apakah itu artinya? Besok kita akan tahu. Duh Gusti,” Wak Mangli berdoa. Telentang. Pedas matanya dan tak sanggup lagi berfikir, “Bahkan ingin rasanya mati. Kau dengar Juminah?” diam. Badai dari langit itu…
Continue Reading »

Haji

Karena bukan cerita fiksi, maka tidak mungkin Haji Jupri kawin dengan Marsiti. Tapi entah kenapa, kisah ini kemudian berkembang menjadi ruwet. Bahkan, menjadi bahan perdebatan tak habis-habis di warung-warung, tegalan, pasar, hingga masjid. Mulanya sih hanya iseng. Suatu hari Pak Haji tanya pada Kang Sirin, “Apa kamu punya bibit yang bagus, Rin?” katanya. Tentu, Pak Haji memang paling akrab dengan Kang Sirin. Bukan hanya karena Kang Sirin adalah langganan becaknya selama bertahun-tahun, tapi karena ketulusan dan keriangan Kang Sirin yang membuat Pak Haji betah.

Continue Reading »

Beringin Cinta

Langit menepi. Malam pasti basah. Suara sirine melengking dalam jauh: lamat, dan menyakitkan. Irene memindahkan chanel televisi, berisik, berpindah-pindah; lalu ia matikan. Klik. Sepi. Beranjak ke kamar, melihat kaca: tak ada senyum. Bunga kacapiring di luar jendela bergoyang-goyang. Malam pasti basah. Malam pasti…“Irene. Irene. Irene…”

Fajar merekah. Dia tak datang. Malam gelap selalu tempatnya rindu. Tapi pagi keburu datang: matahari terang tak ada hujan. Telepon di kamar Irene berdering nyaring. “Angkat Irene! Pagi belum hilang alatmu sudah berisik. Bangun, Cah Ayu!” Suara Mama menggedok pintu. Dok-dok, dok-dok. Trilili. Gadis manis terbang merajuk. Jendela terbuka blak-blak kreot dan Mang Udin tersenyum di bawah menyiram bunga. “Pagi Nona!” lugu. “Pagi,” sewotlah ia. Kring-kring telepon kembali berdering, lari, disaut Nona seenak hati: “Eh lu! Entar datang kagak? Hua-ha-ha. Jam sembilan yo? Di kantin. He’em! Yap. Sip. Sip. Gua belon mandiiii.”

Continue Reading »

Segelas racun babi mengepul di atas meja. Asap kretek melenggok dari mulut menuju petromaks, membentuk gulungan hening. Abah Marta merapatkan handuk dari sergapan dingin di leher dengan gigi gemerotak. Di balik jaket berkaos tebal tersembunyi dada kering kerempeng mengatur desahan napas. Tersengal-sengal karena penyakit asma. Terengah-engah menimbulkan bunyi mirip pompa air mekanik. Mencengik. Mata keriputnya memicing, menatap Wardoyo menantunya yang tengah mempermainkan asap. Ragu-ragu. Berganti-ganti dengan fokus gelas racun menantang di meja. Suara dengkuran menembus gorden pintu di belakangnya; kamar Ambu Marsinah tidur. Ada kemerosak angin. Ada kemerosak bambu-bambu bergesekan di luar.

“Mulailah.” Wardoyo berkata pendek. Menghisap asap kretek ke dadanya dalam-dalam. Ada ketegangan merayap. Ada kegamangan mengalir. Abah Marta sekali lagi menatap wajah menantunya. Kepala Wardoyo mengangguk. Setengah dipaksa setengah putus asa, tangan Abah Marta maju meraih gelas. Racun hangat, manis bercampur kopi, mengepul hangat dalam genggaman. Gemetar. Bibir tuanya gagal tersenyum. Tak tega mata Wardoyo melambungkan ke langit-langit, melihat dua ekor cecak berkejaran. Menunggu.

Continue Reading »